Masyarakat Madani


Atau masyarakat sipil (civil society)
Madani berasal dar bahasa Arab
Sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang
Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian.
Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Masyarakat Sipil Vs Militer
Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan “militer “ yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas
pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan.
Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan keharusan sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai “backing” untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok ekonomi kuat tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto. Sementara mereka tidak melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi substansialnya yakni pertahanan dan keamanan.
Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman masyarakat, serta kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan pada kasus-kasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup memiliki kecakapan pada fungsi utamanya. Maka sangat wajar bila kader-kader militer dipersilahkan untuk hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif, ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak.
Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI, khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun masalahnya apakah masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran peran militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran militer selama masa orde baru menyebabkan terjadinya proses kristalisasi konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata lain telah terjadi gejala “contradictio internemis” pada wacana masyarakat madani dalam masyarakat kita dewasa ini.
Masyarakat Sipil Vs Negara
Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme.
Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non-pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat.
Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya, “serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam”.
Penggugatan peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama sekali baru. Bob S.Hadiwinata (1999) mencatat sejarah panjang gerakan sosial di Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai masa orde baru. Menurutnya pemerintahan orde baru, Soeharto, telah “berhasil” mengangkangi hak-hak sipil selama 32 tahun, dengan apa yang ia sebut “tiga strategi utama”. Dan selama itu pula proses marjinalisasi hak-hak rakyat terus berlangsung, untuk kepentingan sekelompok pengusaha kroninya, dengan bermodalkan slogan dan jargon “pembangunan”.
Celakanya rembesan semangatnya sampai pada strata pemerintahan yang paling bawah. Camat, lurah, sampai ketua RT pun lebih fasih melantunkan slogan dan jargon yang telah dipola untuk kepentingan ekonomi kuat. Tetapi sementara mereka menjadi gagap dalam mengaksentuasikan kepentingan rakyatnya sendiri. Maka yang terjadi, pasar yang telah mentradisonal menghidupi ribuan masyarakat kecil di bongkar untuk dijadikan mall atau pasar swalayan. Demikian pula, sawah dan kebun petani berubah fungsi menjadi lapangan golf. Perubahan yang terjadi di luar jangkauan kebutuhan dan pemikiran masyarakat karena mekanisme musyawarah lebih banyak didengungkan di ruang penataran ketimbang dalam komunikasi sosial.
Masyarakat Peradaban dan Jahiliyah
Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rosullullah s.a.w sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik, Nabi diijinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal.
Sistem sosial madani ala Nabi s.a.w memiliki ciri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relavan dalam konteks waktu dan tempat berbeda, sehingga pada dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas. Mengenai hal yang terakhir ini Nabi s.a.w telah memberi cotoh yang tepat, bagaimana sebaiknya memperlakukan kelompok minoritas ini.

Mungkinkah terwujud?
Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena, (a) demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c) supremasi hukum; dalam masyarakat.
Pertama, sehubungan dengan karakteristik pertama yakni demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut.
Kedua, partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan.
Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen gerakan masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa orde baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan berlangsungnya demokrasi pura-pura atau pseudo democratic sebagaimana demokrasi yang dijalankan rezim orde baru.
Ketiga, penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire).
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.
Penutup
Seperti telah dikemukakan di atas, masyarakat madani membutuhkan institusi sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat, maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan swadaya masyarakat.
Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani. Ada memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural. Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi. Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih membutuhkan proses yang panjang. Dan boleh jadi hanya impian manakala pro status quo tetap berkuasa.



A. Pengertian

Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini tahun 1995 adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai Masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi histories ketidak bersalahan pembentukan civil society dalam Masyarakat muslim modern.

Menurut Prof. Nafsir Alatas Masyarakat Madani berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu musyarakah dan madinah. musyarakah yang berarti pergaulan atau persekutuan hidup manusia, dalam bahasa latin masyarakat di sebut socius yang kemudian berubah bentuknya menjadi social sedangkan madinah yang berarti kota, atau “tamaddun” yang berarti peradaban. Hal ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang di bina Nabi Muhammad Saw setelah beliau berhijrah ke Madinah yang penduduknya dari berbagai jenis etnis dan agama walaupun mayoritas beragama Islam.
Berdasarkan asal-usul pengertian tersebut maka yang di maksud Masyarakat Madani (civil society) adalah masyarakat yang menjujung tinggi nilai–nilai peradaban, yaitu masyarakat yang meletakan prinsip-prinsip nilai dasar masyarakat yang harmonis dan seimbang.

B. Prinsip-Prinsip Masyarakat Madani

Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar masyarakat madani (islami) sebagaimana di ungkapkan dalam Al-Quran dan sunah adalah meliputi:
1. Persaudaraan
2. Persamaan
3. Toleransi
4. Amar ma’ruf-nahi munkar
5. Musyawarah
6. Keadilan
7. Keseimbangan
Allah Swt berfirman:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110).
Dalam prinsip persaudaraan mengingatkan pada kejadian manusia yang berasal dari sumber yang sama, baik laki-laki maupun perempuan (Q 49:10). Di ayat tersebut dijelaskan Nabi Muhammad Saw seorang mukmin terhadap mukmin lainnyan laksana suatu bangunan yang unsur-unsurnya saling menguatkan. Hal ini berarati bahwa suatu masyarakat harus hidup bergotong royang, tolong menolong, dan saling membantu. Dalam prinsip persamaan menunjukan bahwa manusia itu sama, perbedaan kebangsaan, keturunan, jenis kelamin, kekayaan dan jabatan, tidak mengubah posisi seseorang di hadapan Allah Swt. Perbedaan seseorang dengan yang lainnya terletak pada iman dan taqwa (IMTAQ)nya kepada Allah Swt. Dalam prinsip kemerdekaan meliputi bidang agama, politik, dan ekonomi.

C. Pilar penyangga atau pendukung masyarakat Madani

Pilar penyangga atau pendukung Masyarakat Madani diantaranya:
1. Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM)
2. Pers (media masa, telepisi, radio,dll)
3. Supermasi Hukum
4. Peran Perguruan Tinggi
5. Partai Politik

D. Strategi-strategi yang menunjukan Masyarakat Madani di Indonesia.

Ada tiga strategi yang menunjukan masyarakat Madani di
Indonesia diantaranya:
1. Strategi lebih mementingkan intregrasi national dan
politik atau stuktural
2. Strategi mengutamakan reformasi sistem politik yang
sekarang di jalankan
3. Strategi membangun masyarakat madani atau kultural
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110).

Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai Masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi histories ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam Masyarakat muslim modern.

Makna Civil Society
“Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan Masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep sivil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara histories, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, john Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan Masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi Gereja (larry Diamond, 2003: 278). Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok independen (asosiasi lembaga kolektipitas, perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan Komunikasi yang indipenden. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari tranformasi social (kornelis lay, 2004:61). Sementara menurut havnes, tekanan dari “masarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program Demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, merencanakan dan menylenggarakan pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (jeff Haynes, 2000: 28). Menurut AS Hikam, civil society adalah satu Wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan matrial, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.

Ciri-ciri utama civil society, munurut AS Hikam ada tiga, yaitu: (1) Adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu- individu dan kelompok-kelompok dalam masarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) Adanya ruangan publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wancana dan Praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Dalam arti politik, Civil Society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, sivil society berusaha melindungi Masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk Koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip sivil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip Demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko 2003: 212).

Antara Masyarakat Madani dan Civil Society
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, Masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep diluar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan Masyarakat Madani yang dijadikan pembenaran atas pembentukan sivil society di Masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan diantara keduanya. Menurut pengamatan A.Syafii Maarif, Masyarakat sipil yang berkembang dalam Masyarakat Barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka, nilai-nilai yang juga dimiliki Masyarakat madinah hasil bentukan Rosulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuahan liberallisme sehingga hasil Masyarakat yang dihasilkannyapun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan social dan ekonomi masih tanda Tanya. Sedangkan dalam Masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya. Perbedaan lain antara civil society dengan Masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan Masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga sivil society mempunya moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan Masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan.

Dari alasan ini Maarif mendefinisikan Masyarakat madani sebagai sebuah Masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik moral transcendental yang bersumber dari Wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84). Masyarakat Madinah, yang oleh Cak Nur dijadikan tipologi Masyarakat madani, merupakan Masyarakat yang demokratis. Dalam arti bahwa hubungan antar kelompok Masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok Masyarakat (seperti penetapan strategi perang), dan pelaku ketidak adilan, dari kelompok manapun, diganjar dengan hukuman yang berlaku.

Robert N.Bellah, mantan Guru Besar Sosiologi Universitas Califonia, Berkeley Amerika Serikat, menyatakan bahwa komunitas muslim awal merupakan Masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya, menurut Bellah, tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi Masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak berdasarkan keturunan (beredities), tapi kemampuan (Robert N Bellah, 2000: 211).Perunjukan Masyarakat Madinah sebagai kerangka acuan dalam membangun tatanan Masyarakat Muslim modern merupakan keharusan. Dengan alasan, Masyarakat Madinah adalah umat yang terbaik dalam pandangan Allah. Firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah,” (QS Ali Imran [3]: 110). Menurut Quraish Shihab, Masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh Masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya shihab menjelaskan, kaum muslim awal menjadi “khaeru ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185). Perujukan terhadap Masyarakat Madinah sebagai tipikal Masyarakat ideal bukan pada peniruan stuktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakata ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk ilahi, maupun persatuan dan kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui llahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [6]: 125.

Dalam rangka membangun “masayrakat madani modert”, meneladani Nabi bukan hanya penapilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun sesama umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. Kita juga harus meneladani sikap kaum muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan mereka bersikap seimbang (tawassulth) dalam mengejar kebahagian dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada Masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam menunggu Waktu saja.

Peranan Ibu Membangun Moral Bangsa JOHN Lock mengungkapkan teori “Tabularasa” yang menyatakan bahwa bayi ibarat kertas Putih. Teori ini senada dengan Sabda Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitnah), tergantung keinginan Bapaknya menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani, dan Majunis. Dari sini kita Memahami bahwa pengalaman hidup seseorang dalam keluarga sangat menentukan masa depan seseorang. Pendek kata, baik buruknya seseorang ditentukan pendidikan keluarga. Karena itu, pendidikan anak didalam rumah tangga sangat menentukan arah anak masa depan. Pendidikan dalam rumah tangga hendaknya diarahkan pada penanaman keimanan dan akidah yang benar. QS Luqman [31]:13 menjelaskan hal ini. Ayat ini berbunyi, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di Waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ’Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar.” Penanaman keimanan dan akidah yang lurus adalah tanggung jawab suami. Tapi karena seorang suami sibuk mencari nafkah untuk menghidupi kebutuhan sandang pangan istri dan anaknya, maka tugas ini seyogyanya dilaksanakan oleh istri. Pendidikan anak dalam rumah tangga akan lebih efektif jika dilakukan ibu, dengan pertimbangan bahwa ibu mempunyai sikap lebih lembut dan perasaan yang halus serta anak lebih dekat kepada ibu ketimbang kepada Bapak. Makanya tidak salah jika Ahmad Syauqi, seorang pejuang Arab, mengatakan melalui syair yang ditulisnya, “ibu adalah sekolah pertama, apabila dia mempersiapkannya, dia menyiapkan Masyarakat yang baik keturunannya”. Syair ini mengungkapkan bahwa itu memiliki kedudukan yang sangat mulia dan berpengaruh sangat besar. Ibu adalah pendidik paling utama bagi setiap anak. Selain itu, ibu adalah sosok yang paling dicintai oleh semua orang dan menjadi anutan mereka, serta pribadi yang mengantarkan anak melihat dunia untuk pertamakalinya. Mengatasi kebobrokan bangsa hendaknya dimulai dari komunitas yang kecil, yaitu keluarga. Penciptaan generasi “rabani” tidak mungkin berhasil tanpa peranan seorang ibu. Sedini mungkin seorang ibu harus menanamkan keimanan, akidah, dan moral yang besar sebagai tameng agar anak-anak di Masyarakat tidak terjerumus dalam tindak asusila dan kriminal sekaligus filter untuk membedakan antara perbuatan baik dan buruk. Karena itu, bisa dikatakan bahwa ibu adalah benteng moral bangsa. Semoga para ibu melakukan fungsinya dengan baik dan benar agar bangsa ini terhindar dari kehancuran moral.